HUKUM PERIKATAN
(Law of Obligations)
Asal kata perikatan dari obligatio (latin),
obligation (Perancis, Inggris) Verbintenis (Belanda = ikatan atau
hubungan). Selanjutnya Verbintenis mengandung banyak pengertian, di antaranya:
- Perikatan: masing-masing pihak saling terikat oleh suatu kewajiban/prestasi(Dipakai oleh Subekti dan Sudikno)
- Perutangan: suatu pengertian yang terkandung dalam verbintenis. Adanya hubungan hutang piutang antara para pihak (dipakai oleh Sri Soedewi, Vol Maar, Kusumadi).
- Perjanjian (overeenkomst): dipakai oleh (Wiryono Prodjodikoro)
Definisi
Perikatan adalah hubungan yang terjadi
diantara dua orang atau lebih, yang terletak
dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu
berhak atas prestasi dan pihak yang
lainnya wajib memenuhi prestasi itu.
Dari rumus diatas kita lihat bahwa unsur-
unsur perikatan ada empat, yaitu :
1. Hubungan hukum ;
2. Kekayaan ;
3. Pihak-pihak, dan
4. Prestasi.
Hubungan hukum
- Hubungan yang diatur oleh hukum;
- Hubungan yang di dalamnya terdapat hak di satu pihak dan kewajiban di lain pihak;
- Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban, dapat dituntut pemenuhannya
Pihak-pihak (subjek perikatan)
- Debitur adalah pihak yang wajib melakukan suatu prestasi atau Pihak yang memiliki utang (kewajiban)
- Kreditur adalah Pihak yang berhak menuntut pemenuhan suatu prestasi atau pihak yang memiliki piutang (hak)
Harta kekayaan
Harta kekayaan sebagai kriteria dari adanya
sebuah perikatan. Tentang harta kekayaan sebagai ukurannya (kriteria) ada
2 pandangan yaitu :
- Pandangan klasik : Suatu hubungan dapat dikategorikan sebagai perikatan jika hubungan tersebut dapat dinilai dengan sejumlah uang
- Pandangan baru : Sekalipun suatu hubungan tidak dapat dinilai dengan sejumlah uang, tetapi jika masyarakat atau rasa keadilan menghendaki hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukum akan meletakkan akibat hukum pada hubungan tersebut sebagai suatu perikatan
Prestasi (objek perikatan)
Prestasi adalah kewajiban yang harus
dilaksanakan. Prestasi merupakan objek perikatan. Dalam ilmu hukum kewajiban
adalah suatu beban yang ditanggung oleh seseorang yang bersifat
kontraktual/perjanjian (perikatan). Hak dan kewajiban dapat timbul apabila
terjadi hubungan antara 2 pihak yang berdasarkan pada suatu kontrak atau
perjanjian (perikatan). Jadi selama hubungan hukum yang lahir dari perjanjian
itu belum berakhir, maka pada salah satu pihak ada beban kontraktual, ada
keharusan atau kewajiban untuk memenuhinya (prestasi).
Selanjutnya kewajiban tidak selalu muncul
sebagai akibat adanya kontrak, melainkan dapat pula muncul dari peraturan hukum
yang telah ditentukan oleh lembaga yang berwenang. Kewajiban disini merupakan
keharusan untuk mentaati hukum yang disebut wajib hukum (rechtsplicht) misalnya
mempunyai sepeda motor wajib membayar pajak sepeda motor, dll
Bentuk-bentuk prestasi (Pasal 1234 KUHPerdata)
:
- Memberikan sesuatu;
- Berbuat sesuatu;
- Tidak berbuat sesuatu
Ketiga prestasi diatas mengandung 2 unsur
penting :
- Berhubungan dengan persoalan tanggungjawab hukum atas pelaksanaan prestasi tsb oleh pihak yang berkewajiban (schuld).
- Berhubungan dengan pertanggungjawaban pemenuhan tanpa memperhatikan siapa pihak yang berkewajiban utk memenuhi kewajiban tsb (Haftung)
Syarat-syarat prestasi :
- Tertentu atau setidaknya dapat ditentukan;
- Objeknya diperkenankan oleh hukum;
- Dimungkinkan untuk dilaksanakan
Schuld adalah kewajiban debitur untuk membayar
utang sedangkan haftung adalah kewajiban debitur membiarkan harta kekayaannya
diambil oleh kreditur sebanyak hutang debitur, guna pelunasan hutangnya apabila
debitur tidak memenuhi kewajibannya membayar hutang tersebut.
Sistem Hukum Perikatan
Sistem hukum perikatan adalah terbuka.
Artinya, KUHPerdata memberikan kemungkinkan bagi setiap orang mengadakan bentuk
perjanjian apapun, baik yang telah diatur dalam undang-undang, peraturan khusus
maupun perjanjian baru yang belum ada ketentuannya. Sepanjang tidak
bertentangan dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Akibat hukumnya adalah, jika
ketentuan bagian umum bertentangan dengan ketentuan khusus, maka yag dipakai
adalah ketentuan yang khusus, misal: perjanjian kos-kosan, perjanjian kredit,
dll.
Pasal 1320 KUHPerdata mengatur tentang syarat
sahnya perjanjian yaitu :
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (tidak ada paksaan, tidak ada keleiruan dan tidak ada penipuan)
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ; (dewasa, tidak dibawah pengampu)
- Suatu hal tertentu (objeknya jelas, ukuran, bentuk dll)
- Suatu sebab yang halal; (tidak bertentangan dengan ketertiban, hukum/UU dan kesusilaan)
Sumber hukum perikatan adalah sebagai berikut
:
1. Perjanjian ;
2. Undang- undang, yang dapat dibedakan dalam
Undang- undang semata- mata; Undang- undang karena perbuatan manusia yang Halal
; Melawan hukum;
3. Jurisprudensi;
4. Hukum tertulis dan tidak tertulis;
5. Ilmu pengetahuan hukum.
Jenis Perikatan
Perikatan dibedakan dalam berbagai- bagai
jenis :
1. Dilihat dari objeknya
A. Perikatan untuk memberikan sesuatu;
B. Perikatan untuk berbuat sesuatu;
C. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.
Perikatan untuk memberi sesuatu
(geven) dan untuk berbuat sesuatu (doen)
dinamakan perikatan positif dan
perikatan untuk tidak berbuat sesuatu (niet doen) dinamakan perikatan
negatif;
D. perikatan mana suka (alternatif);
E. perikatan fakultatif;
F. perikatan generik dan spesifik;
G. perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak
dapat dibagi (deelbaar dan
ondeelbaar);
H. perikatan yang sepintas lalu dan terus-
menerus (voorbijgaande dan
voortdurende).
2. Dilihat dari subjeknya, maka dapat
dibedakan
a.
perikatan tanggung- menanggung (hoofdelijk atau solidair) ;
b.perikatan
pokok dan tambahan ( principale dan accessoir) ;
3. Dilihat dari daya kerjanya, maka dapat
dibedakan:
a.
perikatan dengan ketetapan waktu;
b.perikatan
bersyarat.
Sifat Hukum Perikatan
- Sebagai hukum pelengkap/terbuka, dalam hal ini jika para pihak membuat ketentuan sendiri, maka para pihak dapat mengesampingkan ketentuan dalam undang-undang.
- Konsensuil, dalam hal ini dengan tercapainya kata sepakat di antara para pihak, maka perjanjian tersebut telah mengikat.
- Obligatoir, dalam hal ini sebuah perjanjian hanya menimbulkan kewajiban saja, tidak menimbulkan hak milik. Hak milik baru berpindah atau beralih setelah dilakukannya penyerahan atau levering.
Isi Perikatan
Dalam hal ini berkaitan prestasi. Suatu
prestasi harus memenuhi syarat-syarat . Adapun syarat-syarat prestasi sebagai
berikut :
- Tertentu atau setidaknya dapat ditentukan (prestasi tertentu)
- Dimungkinkan untuk dilaksanakan (prestasi tidak disyaratkan harus mungkin dipenuhi)
- Objeknya diperkenankan oleh hukum (prestasi yang halal)
Ingkar Janji (Wanprestatie)
wujud dari tidak memenuhi perikatan itu ada
tiga macam, yaitu :
·
Debitur sama
sekali tidak memenuhi perikatan;
·
Debitur terlambat
memenuhi perikatan;
·
Debitur keliru
atau tidak pantas memenuhi perikatan.
Pernyataan Lalai (ingebreke stelling)
Akibat yang sangat penting dari tidak
dipenuhinya perikatan ialah kreditur dapat meminta ganti rugi atas biaya rugi
dan bunga yang dideritanya. Adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur, maka
Undang- undang menentukan bahwadebitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada
dalam keadaan lalai (ingebreke stelling).
Bentuk- bentuk pernyataan lalai bermacam-
macam, dapat dengan :
1. Surat Perintah (bevel)
yang
dimaksud dengan surat perintah ( bevel) adalah exploit juru sita. Exploit
adalah
perintah
lisan yang disampaikan juru sita kepada debitur. Didalam praktek, yang
ditafsirkan
dengan exploit ini adalah “salinan surat peringatan” yang berisi perintah tadi,
yang
ditinggalkan juru sita pada debitur yang menerima peringatan. Jadi bukan
perintah
lisannya
padahal “turunan” surat itu tadi adalah sekunder.
2. Akta Sejenis (soortgelijke akte)
Membaca
kata- kata akta sejenis, maka kita mendapat kesan bahwa yang dimaksud
dengan
akta itu ialah akta atentik yang sejenis dengan exploit juru sita.
3. Demi Perikatan Sendiri
Perikatan
mungkin terjadi apabila pihak- pihak menentukan terlebih dahulu saat adanya
kelalaian
dari debitur didalam suatu perjanjian, misalnya pada perjanjian dengan
ketentuan
waktu. Secara teoritis suatu perikatan lalai adalah tidak perlu, jadi dengan lampaunya suatu waktu, keadaan lalai itu
terjadi dengan sendirinya.
Contoh Kasus Perikatan :
Kasus Surabaya Delta Plaza
·
Kronologi Kasus
Pada permulaan PT Surabaya Delta Plaza (PT.
SDP) dibuka dan disewakan untuk pertokoan, pihak pengelola merasa kesulitan
untuk memasarkannya. Salah satu cara untuk memasarkannya adalah secara
persuasif mengajak para pedagang meramaikan komplek pertokoan di pusat kota
Surabaya itu. Salah seorang diantara pedagang yang menerima ajakan PT
surabaya Delta Plaza adalah Tarmin Kusno, yang tinggal di Sunter-Jakarta.
Tarmin memanfaatkan ruangan seluas 888,71
M2 Lantai III itu untuk menjual perabotan rumah tangga dengan nama Combi
Furniture. Empat bulan berlalu Tarmin menempati ruangan itu, pengelola PT
Surabaya Delta Plaza (PT. SDP) mengajak Tarmin membuat “Perjanjian Sewa
Menyewa” dihadapan Notaris. Dua belah pihak bersepakat mengenai
penggunaan ruangan, harga sewa, Service Charge, sanksi dan segala hal yang
bersangkut paut dengan sewa menyewa ruangan. Tarmin bersedia membayar
semua kewajibannya pada PT Surabaya Delta Plaza (PT. SDP), tiap bulan terhitung
sejak Mei 1988 s/d 30 April 1998 paling lambat pembayaran disetorkan tanggal 10
dan denda 2 0/00 (dua permil) perhari untuk kelambatan pembayaran.
Kesepakatan antara pengelola PT Surabaya Delta Plaza (PT. SDP) dengan Tarmin
dilakukan dalam Akte Notaris Stefanus Sindhunatha No. 40 Tanggal 8/8/1988.
Tetapi perjanjian antara keduanya agaknya
hanya tinggal perjanjian. Kewajiban Tarmin ternyata tidak pernah
dipenuhi, Tarmin menganggap kesepakatan itu sekedar formalitas, sehingga
tagihan demi tagihan pengelola SDP tidak pernah dipedulikannya. Bahkan
menurutnya, Akte No. 40 tersebut, tidak berlaku karena pihak PT Surabaya Delta
Plaza (PT. SDP) telah membatalkan “Gentlement agreement” dan kesempatan yang
diberikan untuk menunda pembayaran. Hanya sewa ruangan, menurut Tarmin
akan dibicarakan kembali di akhir tahun 1991. Namun pengelola PT Surabaya
Delta Plaza (PT. SDP) berpendapat sebaliknya. Akte No. 40 tetap berlaku
dan harga sewa ruangan tetap seperti yang tercantum pada Akta tersebut.
Hingga 10 Maret 1991, Tarmin seharusnya
membayar US$311.048,50 dan Rp. 12.406.279,44 kepada PT SDP. Meski kian
hari jumlah uang yang harus dibayarkan untuk ruangan yang ditempatinya terus
bertambah, Tarmin tetap berkeras untuk tidak membayarnya. Pengelola PT
Surabaya Delta Plaza (PT. SDP), yang mengajak Tarmin meramaikan pertokoan itu.
Pihak pengelola PT Surabaya Delta Plaza (PT.
SDP) menutup COMBI Furniture secara paksa. Selain itu, pengelola PT
Surabaya Delta Plaza (PT. SDP) menggugat Tarmin di Pengadilan Negeri Surabaya.
Analisis :
Perjanjian diatas bisa dikatakan sudah ada
kesepakatan, karena pihak PT. Surabaya Delta Plaza dan Tarmin Kusno dengan rela
tanpa ada paksaan dari pihak manapun untuk menandatangani isi perjanjian
Sewa-menyewa yang diajukan oleh pihak PT. Surabaya Delta Plaza yang dibuktikan
dihadapan Notaris.
Tapi ternyata Tarmin Kusno tidak pernah
memenuhi kewajibannya untuk membayar semua kewajibannya kepada PT Surabaya Delta
Plaza, dia tidak pernah peduli terhadap tagihan – tagihan yang datang kepadanya
dan dia tetap bersikeras untuk tidak membayar semua kewajibannya. Maka
dari itu Tarmin Kusno bisa dinyatakan sebagai pihak yang melanggar perjanjian
atau telah melakukan wanprestasi.
Dengan alasan inilah pihak PT Surabaya Delta
Plaza setempat melakukan penutupan COMBI Furniture secara paksa dan menggugat
Tamrin Kusno di Pengadilan Negeri Surabaya. Dan jika kita kaitkan dengan
Undang-undang yang ada dalam BW, tindakan Pihak PT Surabaya Delta Plaza bisa
dibenarkan. Dalam pasal 1240 BW, dijelaskan bahwa : Dalam
pada itu si piutang adalah behak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang
telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya
dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatuyang telah
dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak menuntut
penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.
Dari pasal diatas, maka pihak PT Surabaya
Delta Plaza bisa menuntut kepada Tarmin Kusno yang tidak memenuhi suatu
perikatan dan dia dapat dikenai denda untuk membayar semua tagihan bulanan
kepada PT Surabaya Delta Plaza.
Seharusnya Tarmin Kusno bertanggung jawab atas
semua kewajiban-kewajibannya yang telah ia sepakati sebelumnya dan harus
menerima semua resiko yang dia terima.
CONTOH KASUS PERIKATAN TENTANG JUAL
BELI TANAH ;
Kasus Jayeng
Bandung
Kronologi Kasus
Akta jual beli tanah Jayeng dari ahli waris
Tasrip kepada pemilik Hotel Guma, dinilai cacat hukum. Akta yang disahkan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) itu menyebutkan, tanah seluas 5.440 m2 di
Kampung Jayeng beserta bangunan yang berdiri di atasnya dijual oleh Asya, ahli
waris Tasrip, kepada Hendra Soegi, pemilik Hotel Guma.
Padahal, menurut Guru Besar Fakultas Hukum
Unika Soegijapranata, Prof Dr Agnes Widanti SH CN, sejak puluhan tahun lalu
warga hanya menyewa lahan; sedangkan bangunan rumah yang ada di kampung
tersebut didirikan oleh warga.”Sejak 1995, ahli waris Tasrip tidak
pernah mengambil uang sewa tanah. Sebelumnya, sistem pembayaran sewa dilakukan
secara ambilan, bukan setoran. Karenanya, warga dianggap tidak membayar,” kata
Agnes dalam pertemuan membahas kasus sengketa Jayeng, di Balai Kota.
Baik dalam kasus perdata maupun pidana,
Pengadilan Negeri Semarang menyatakan warga bersalah. Tak puas dengan amar
putusan tersebut, warga Jayeng mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hingga
hari ini belum ada putusan MA atas kasus tersebut.
Diskusi pakar hukum yang difasilitasi Desk
Program 100 Hari itu, menghadirkan sejumlah pakar hukum. Selain Agnes, hadir
pula pakar sosiologi hukum Undip, Prof Dr Satjipto Rahardjo SH, pakar hukum
tata negara Undip, Arief Hidayat SH MH, dan pakar hukum agraria Unissula, Dr
Ali Mansyur SH CN MH. Arief Hidayat menilai, ada fakta yang disembunyikan oleh
notaris PPAT. Jika bangunan benar-benar milik warga, maka ahli waris Tasripien
tidak berhak menjual bangunan itu kepada orang lain.
”Jika benar demikian, notaris PPAT yang
mengurus akta jual-beli itu bisa diajukan ke PTUN. Sebagai pejabat negara, PPAT
dapat digugat ke pengadilan tata usaha negara,” ujarnya.
Tak
Memutus Sewa
Pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali Mansyur
SH CN MH mengatakan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, jual-beli
tidak dapat memutus sewa-menyewa. Dalam ketentuan hukum perdata, sewa menyewa
dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan. Warga Jayeng, menurut Ali,
hingga kini masih bersikukuh menyatakan bahwa mereka adalah para penyewa.
Sebaliknya, pemilik Hotel Guma merasa memiliki
bukti kepemilikan yang sah, sehingga merasa berhak melakukan pengosongan lahan.
”Selama belum ada keputusan hukum yang tetap, upaya damai masih bisa dilakukan.
Harus ada penyelesaian antara pemilik pertama (ahli waris Tasripien-Red),
pemilik kedua (pemilik Hotel Guma), dan warga Jayeng,” usulnya.
Sementara itu Kepala Bagian Hukum Pemkot,
Nurjanah SH menuturkan, terdapat 32 rumah dan satu musala di kampung Jayeng.
Saat ini, ada 55 keluarga atau 181 jiwa yang tinggal di kampung tersebut.
Menurutnya, pada 9 Januari lalu warga membentuk tim tujuh sebagai negosiator
tali asih. Saat itu pemilik Hotel Guma bersedia memberi kompensasi sebesar Rp
300.000/m2, namun warga meminta Rp 2 juta/m2. Pemilik hotel kemudian menawar Rp
1 juta/m2, namun warga menolak.
Wakil Wali Kota, Mafu Ali mengatakan, Pemkot
sudah berusaha memediasi warga dengan pemilik Hotel Guma. Bahkan, beberapa
waktu lalu Mafu mengundang Hendra Soegiarto untuk membicarakan kemungkinan
jalan damai. ”Namun rupanya, Hendra merasa lebih kuat karena pengadilan telah memenangkan
kasusnya. Ia tidak bersedia negosiasi karena merasa menang,” kata dia.
Pada kesempatan itu, Mafu memperihatinkan aksi
pembakaran boneka wali kota yang dilakukan warga Jayeng pada unjuk rasa
beberapa waktu lalu. Menurut dia, Pemkot sudah melakukan berbagai upaya untuk
membuat kasus Jayeng terselesaikan dengan baik. ”Kami sudah berbuat demikian,
kok masih ada saja yang membakar boneka Pak Wali. Saya kan jadi perihatin,”
ujarnya.
SUMBER
- http://ocw.usu.ac.id/course/download/10500000010-hukum-perusahaan/kn_508_slide_hukum_perikatan_3.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar